Apakah Anda termasuk orang yang gemar mengabadikan setiap momen dengan kamera ponsel, dari makanan siang hingga langit sore yang cantik? Hati-hati, kebiasaan ini ternyata bisa berdampak pada daya ingat Anda.
ABC News Australia melaporkan, para ahli mulai mengamati bagaimana kebiasaan merekam kehidupan sehari-hari melalui gawai, mulai dari foto, data olahraga, hingga rekaman tidur, ternyata dapat mengubah cara kerja otak manusia.
Fenomena ini disebut sebagai lifelogging, yakni kegiatan merekam aspek kehidupan sehari-hari secara digital. Meski terdengar positif, penelitian menunjukkan bahwa tidak semua dampaknya baik untuk ingatan.
Menurut Julia Soares, peneliti dari Mississippi State University yang fokus pada dampak teknologi digital terhadap memori, kebiasaan mengambil foto justru bisa membuat kita lebih sulit mengingat momen yang kita dokumentasikan. Efek ini ia sebut photo-taking impairment effect
Dalam beberapa eksperimen, peserta dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mengambil foto saat mengunjungi museum, sementara kelompok lain hanya menikmati karya seni tanpa kamera. Hasilnya? Kelompok yang tidak mengambil foto lebih mampu mengingat detail visual dari karya seni yang mereka lihat, seperti bentuk bulan dalam lukisan The Starry Night karya Van Gogh.
“Dalam beberapa studi kami, mengambil foto justru melemahkan ingatan terhadap objek yang difoto dibandingkan objek yang tidak difoto,” ujar Soares. Hal ini mungkin terjadi karena perhatian teralihkan saat mengambil gambar, sehingga otak tidak benar-benar menyimpan pengalaman tersebut secara mendalam.
Namun, bukan berarti foto tak berguna. Jika digunakan secara sadar sebagai alat bantu, foto bisa menjadi pemicu ingatan yang efektif. Kuncinya ada pada kesadaran dan niat saat mengambil gambar. Soares sendiri mengaku kini lebih berhati-hati: “Saya selalu bertanya, ‘Apa yang ingin saya ingat dari foto ini?’.”
Lifelogging tidak hanya berkutat pada foto. Kini, banyak orang juga merekam data kesehatan, kebugaran, hingga pola tidur mereka lewat aplikasi atau gelang pintar. Salah satunya adalah Kunal Kalro, seorang pria yang mulai mencatat data kesehatannya setelah ayahnya meninggal karena penyakit jantung.
Kunal tak sekadar menyimpan data, tetapi juga menggunakannya untuk mengubah pola hidup. Ia bisa melihat hubungan antara konsumsi kafein dan kualitas tidurnya, serta membangun kebiasaan sehat berdasarkan data yang terkumpul. “Bagi saya, ini bukan soal ingatan, tapi soal menghadirkan kesadaran. Saya merasa lebih selaras dengan tubuh saya,” katanya.
Soares pun menekankan bahwa data akan sia-sia jika tidak digunakan dengan cermat. “Kalau Anda tidak memperhatikan data, maka semuanya hanya akan menumpuk tanpa makna,” jelasnya.
Selain lifelogging, kemudahan akses internet lewat ponsel juga memengaruhi cara kita menilai pengetahuan diri sendiri. Soares menemukan bahwa setelah menggunakan mesin pencari seperti Google, orang cenderung merasa lebih pintar dari yang sebenarnya. Mereka sering keliru membedakan antara pengetahuan yang benar-benar mereka miliki di otak dengan informasi yang dapat mereka akses dengan cepat melalui internet.
Efek ini bahkan dapat meningkatkan kepercayaan diri palsu dalam mengingat dan menjawab pertanyaan di masa depan. Meskipun demikian, kemampuan kognitif mereka sebenarnya tidak berubah.
Meskipun temuan-temuan ini menunjukkan sisi lain dari teknologi digital, Soares tidak menyarankan kita untuk langsung menyingkirkan ponsel. Menurutnya, teknologi jelas punya manfaat, asalkan seseorang menggunakannya dengan bijak dan sadar.
“Teknologi ini muncul dan bertahan karena memang punya kegunaan,” katanya. “Yang penting adalah memberi pemahaman kepada orang tentang bagaimana memanfaatkan teknologi ini dengan efektif bersama sistem kognitif mereka.”