Pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia ke level 5,25% pada Juli ini diperkirakan tidak akan langsung mendorong aksi jual besar-besaran oleh investor asing di pasar obligasi. Sebaliknya, investor asing justru melihat potensi keuntungan dari capital gain seiring penurunan yield, yang membuat harga obligasi naik.
Kepala Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Suhindarto, menjelaskan bahwa meskipun suku bunga yang lebih rendah membuat obligasi berkupon tinggi makin langka, investor asing tetap memiliki strategi untuk memaksimalkan keuntungan.
“Investor asing justru beralih mengejar capital gain karena harga obligasi akan naik saat yield turun. Dengan ekspektasi pelonggaran moneter lanjutan, banyak investor memilih bertahan untuk meraih potensi keuntungan lebih besar,” jelas Suhindarto, Kamis (17/7).
Ia menambahkan, dalam siklus pemangkasan suku bunga seperti sekarang, investor biasanya mulai meninggalkan strategi berburu kupon tinggi dan berpindah ke strategi capital gain.
Dalam pengamatan Pefindo, saat ini investor asing lebih banyak memburu obligasi dengan tenor panjang (di atas 10 tahun). Proporsinya naik dari 18% di pertengahan 2024 menjadi 23% di pertengahan Juli 2025. Menurut Suhindarto, obligasi jangka panjang menawarkan potensi capital gain lebih besar saat yield turun. Ini menjadikannya pilihan menarik di tengah ekspektasi suku bunga yang akan terus menurun.
Di sisi lain, investor asing juga tetap menempatkan sebagian dana di obligasi tenor pendek. Ini merupakan strategi untuk menjaga fleksibilitas di tengah tingginya ketidakpastian global. “Tenor pendek memudahkan investor keluar dari pasar tanpa menanggung risiko perubahan harga yang besar, jika sentimen memburuk,” katanya.
Meskipun saat ini belum terjadi aksi jual besar, Suhindarto mengingatkan bahwa risiko tersebut tetap ada. Yield yang sudah cukup rendah dan nilai tukar rupiah yang menguat bisa menjadi pendorong profit taking. Namun, aksi jual signifikan biasanya baru terjadi saat muncul pemicu besar, seperti kebijakan The Fed, tensi geopolitik, atau tekanan fiskal domestik.
“Aksi jual kecil biasanya lebih pre-emptive sebelum suku bunga diturunkan, seperti yang terjadi pada tanggal 15 kemarin. Saat itu, kepemilikan asing turun menjadi Rp933,07 triliun dari Rp934,05 triliun sehari sebelumnya,” ungkapnya.
Dari sisi daya saing, imbal hasil SBN Indonesia tenor 10 tahun masih lebih tinggi dibandingkan Thailand dan Filipina, dan hampir seimbang dengan India. Stabilitas nilai tukar rupiah juga menjadi daya tarik. Menurut Suhindarto, Bank Indonesia menjaganya melalui intervensi aktif.
“Investor asing sering memanfaatkan momen depresiasi rupiah untuk masuk, dan keluar saat harga obligasi tinggi dan rupiah terapresiasi. Ini adalah strategi entry-exit yang umum bagi spekulan asing,” ujar dia.
Ke depan, kami memperkirakan penguatan rupiah terbatas, terutama karena spread suku bunga dengan AS mulai menyempit. Namun, banyak pihak meyakini BI akan tetap hadir untuk menjaga agar rupiah tidak menembus batas psikologis Rp17.000 per dolar AS.
“Stabilitas rupiah penting untuk menjaga inflasi, terutama imported inflation. Jika dolar AS melemah karena The Fed juga memangkas suku bunga, maka tekanan terhadap rupiah bisa mereda,” tutup Suhindarto.
Lebih lanjut, Suhindarto menekankan bahwa siklus pemangkasan suku bunga juga mengubah pola investasi lintas aset. Saat pertumbuhan ekonomi melambat dan disinflasi terjadi, investor umumnya mulai beralih dari instrumen pendapatan tetap ke aset berisiko seperti saham.
“Ketika kita memasuki siklus pemangkasan suku bunga selama periode disinflasi, investor biasanya akan mengejar keuntungan di saham. Penurunan suku bunga kami harapkan mendorong pertumbuhan ekonomi, dan ini menjadi katalis bagi kinerja emiten,” ia mengatakan.
Namun, ia mengingatkan, kondisi pasar saham saat ini masih rentan terkoreksi karena ketidakpastian yang tinggi. Oleh karena itu, investor cenderung tetap memegang porsi besar di obligasi sambil secara bertahap meningkatkan eksposur ke saham.