Industri kelapa sawit kembali mengonfirmasi perannya sebagai fondasi utama dari ekonomi negara kita. Pada tahun 2024 ini saja, bidang tersebut telah meraih total nilai ekspor senilai USD 20 miliar. Capaian ini menjadikannya sebagai produk bukan minyak bumi dengan sumbangan devisa tertinggi untuk Indonesia. Walau demikian, dibalik pencapaian luar biasa tersebut, pemain bisnis dalam industri ini berpendapat bahwa masih ada banyak tantangan yang harus dituntaskan, terlebih lagi berkaitan dengan jaminan legalitas serta aturan mainnya.
Dr. Eugenia Mardanugraha dari Universitas Indonesia (UI) khawatir dengan ketidaktentuan hukum dalam sektor kelapa sawit yang dapat merusak keberlangsungan seluruh industri tersebut. Dia menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan regulasi serta kurangnya jaminan hukum telah menciptakan harapan-harapan negatif bagi para pemain bisnis, hal ini pada gilirannya akan mempengaruhi jalannya perkembangan industri minyak sawit di tanah air.
“Pelaku usaha, bisa saja berhenti menanam dan mengolah sawit. Menggantinya ke tanaman lain, bahkan mengganti dengan bisnis lain. Bagi pengusaha sawit Itu bisa dilakukan mereka dengan mudah,” ujar Eugenia dalam keterangannya pada Sabtu (26/4).
Lebih lanjut Eugenia menegaskan, kondisi ini sangat berbahaya bagi petani kecil yang hanya memiliki lahan 1 sampai 5 hektare. “Petani kecil tidak punya pilihan seperti itu. Kalau sawit terpuruk, mereka yang paling terdampak. Hal ini tidak boleh dibiarkan terjadi,” jelasnya.
Ketidakpastian dan tumpang tindih peraturan akan menciptakan ekspektasi negatif di kalangan pelaku usaha, yang kemudian memengaruhi keputusan mereka apakah akan menghentikan usaha, menunda peremajaan tanaman, atau bahkan membiarkan lahannya tidak ditanami. “Ekspektasi ini sangat berpengaruh pada arah industri sawit. Petani-petani kecil ikut terombang-ambing dalam ketidakpastian” imbuh Eugenia.
Dia menginginkan pemerintah bisa cepat menyusun manajemen dalam bidang perkebunan kelapa sawit dengan cara yang lebih efektif. Peraturan-peraturan yang memiliki ketentuan seragam, bersikap adil, serta mendukung sisi lestari amat diperlukan agar memberikan keyakinan kepada pengusaha-pengusaha terkait, namun juga merawat masa depan dari miliaran petani kecil di setiap pelosok Nusantara.
Sektor sawit merupakan komoditas pertanian yang menjadi andalan ekspor nasional. Data Kementerian Pertanian mencatat 73,83 persen dari jumlah nilai ekspor pertanian Indonesia berasal dari komoditas kelapa sawit.
“Sawit ini yang paling utama daripada komoditas-komoditas ekspor lainnya seperti kopi, karet, dan lain-lain.Jadi kalau seandainya industri sawit turun, akan sangat berpengaruh pada ekonomi nasional,”kata Eugenia yang juga Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ini.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor minyak sawit dan turunannya sepanjang 2024 sebanyak 21,60 juta ton dengan nilai USD 20 miliar.
Lebih jauh Eugenia menjelaskan, produksi sawit Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Data BRIN menyebut Indonesia merupakan negara terbesar nomor satu penghasil kelapa sawit di dunia. Konstribusi produksinya hampir 59 persen, diikuti oleh Malaysia 24 persen, dan negara negara lainnya sebesar 17 persen. Indonesia memiliki luas lahan kelapa sawit sebesar 16,38 juta hektare dengan total produksi 46,8 juta ton CPO.
Meski Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia, Namun, tidak memiliki kendali atas mekanisme harga di pasar internasional. “Secara produksi, Indonesia adalah raksasa dunia. Tidak ada negara lain yang bisa menyusul, bahkan Malaysia. Negara terbesar Amerika dan Tiongkok tidak memiliki sawit. Vietnam maupun Thailand mungkin memiliki tetapi pada porsi sangat kecil, hampir tidak mungkin bersaing dengan Indonesia. Sawit merupakan anugerah Tuhan terbesar bagi Indonesia,” ujar Eugenia.
Di balik dominasi produksi kelapa sawit di Indonesia, Eugenia menyoroti sebuah paradoks: meski menjadi penghasil utama, negeri ini tak punya kontrol atas penetapan harga minyak sawit di pangsa pasar global. Menurutnya, “Bukan kami yang menentukan harganya; malah Malaysia serta Rotterdam Belanda lah pihak yang menjalankan hal tersebut. Walaupun Indonesia merupakan produsen nomor satu, pusat transaksi untuk komoditas ini ada di tempat lain. Akibatnya, kita cuma dapat menerima tarif yang telah ditetapkan oleh mereka.”
Menurut Eugenia, kondisi ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia ke depan, terutama jika ingin memperkuat kedaulatan ekonomi dan menjaga stabilitas petani sawit dalam negeri. Ia mendorong pemerintah maupun BUMN dan swasta untuk memperkuat pusat perdagangan sawit di Indonesia dalam membentuk harga domestik yang adil.
Diakuinya, Indonesia sebenarnya sudah membuat Bursa Crude Palm Oil (CPO) Indonesia yang diresmikan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada 2023. Hanya saja, transaksi yang masuk ke bursa tersebut masih tergolong kecil. Sehingga sampai saat ini, patokan harga sawit internasional masih ditentukan di Malaysia dan Rotterdam, Belanda.
“Kalau kita terus jadi price taker, maka sebesar apa pun produksi kita, nilainya akan tetap dikendalikan pihak lain. Ini saatnya Indonesia naik kelas, bukan cuma produsen, tapi juga pemain utama dalam rantai nilai global sawit,” tandasnya.