Dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor energi, PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero), menandatangani Nota Kesepahaman (MoU). Ini untuk pengembangan energi panas bumi sebagai bagian dari agenda ketahanan energi nasional dan percepatan transisi menuju energi bersih.
Kerja sama antara Pertamina dan PLN dilakukan melalui afiliasinya, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) (PGEO) dan PT PLN Indonesia Power (PLN IP). Mereka menandatangani Head of Agreement (HoA) di Wisma Danantara Indonesia pada Selasa (5/8/2025) pagi.
Sinergi tersebut Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara/Danantara Indonesia) fasilitasi melalui PT Danantara Asset Management (Persero).
Kesepakatan ini mencakup kerja sama yang fokus mengakselerasi pengembangan panas bumi pada 19 proyek eksisting. Total kapasitasnya sebesar 530 megawatt (MW). Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, Julfi Hadi, mengungkapkan, langkah ini menjadi bagian signifikan dari strategi PGE. Ini untuk mempercepat pengembangan potensi cadangan panas bumi sebesar 3 gigawatt (GW) yang telah mereka identifikasi dari 10 WKP yang dikelola secara mandiri.
“Pengembangan ini meliputi tujuh proyek brownfield, delapan proyek yellowfield, dan empat proyek greenfield di Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Hululais, Ulubelu, Lumut Balai, Lahendong, Kamojang, Sungai Penuh, dan Kotamobagu,” ungkap Julfi dalam keterangan tertulis, Rabu (6/8/2025).
Kerja sama ini berpotensi menghasilkan pengembangan tambahan kapasitas mencapai 1.130 MW dengan estimasi nilai investasi hingga $5,4 miliar. Potensi pengembangan tambahan ini diproyeksikan dari wilayah kerja yang telah berproduksi maupun area prospektif baru.
Pada kesempatan ini, PGE dan PLN IP juga menyepakati Perjanjian Komitmen Konsorsium untuk pengembangan proyek PLTP Ulubelu Bottoming Unit (30 MW) serta Lahendong Bottoming Unit 1 (15 MW). Pengembangan ini menggunakan teknologi co-generation. Secara keseluruhan, proyek ini berpotensi menambah kapasitas pembangkit hingga 45 MW.
“Penerapan teknologi co-generation dapat mempersingkat proses pengembangan pembangkitan listrik dengan biaya operasi yang lebih efisien. Efisiensi biaya ini disebabkan penggunaan energi yang sudah ada. Jadi tidak perlu melalui tahap eksplorasi. Oleh karena itu, kami percaya konsorsium ini mampu menambah kapasitas pembangkit tanpa menambah beban belanja modal (capex) Perseroan,” jelas Julfi.
Sebagai negara yang berada di kawasan Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), Indonesia memiliki cadangan panas bumi mencapai 24 GW, atau sekitar 40% dari cadangan global. Hingga 2024, tercatat kapasitas terpasang PLTP di Indonesia mencapai 2,6 GW. Ini meningkat signifikan dari 1,4 GW di tahun 2014. Namun, pemerintah masih perlu memanfaatkan potensi besar ini secara lebih optimal.
Pada kesempatan yang sama, CEO Danantara Indonesia, Rosan Roeslani, menyampaikan bahwa pengembangan energi panas bumi merupakan bagian dari agenda strategis nasional. Tujuannya memperkuat ketahanan energi dan mendorong transisi menuju ekonomi rendah karbon.
“Kami berkomitmen memastikan bahwa setiap inisiatif pengelolaan aset strategis kami laksanakan dengan tata kelola yang akuntabel, profesional, dan sejalan dengan standar internasional,” ungkapnya.
Sejalan dengan itu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Simon Aloysius Mantiri, ikut menegaskan. Sebagai pengemban mandat dalam pengelolaan wilayah kerja panas bumi nasional. Pertamina melalui PGE berkomitmen memperluas pemanfaatan sumber daya panas bumi sebagai tulang punggung energi bersih Indonesia.
“Melalui kerja sama ini, kami menjajaki skema kolaboratif yang memungkinkan optimalisasi potensi wilayah kerja panas bumi secara terukur dan progresif. Bersama PLN dan Danantara Indonesia, kami siap mempercepat realisasi proyek strategis yang memberikan kontribusi langsung pada target transisi energi nasional dan peningkatan bauran EBT,” tutupnya.