Di tengah desakan DPRD Kota Tasikmalaya yang mengisyaratkan Pemkot tak menyerahkan pengelolaan RSUD dr Soekardjo ke Provinsi Jabar, sejumlah elemen masyarakat justru tak mempersoalkan siapa pun yang akan mengelola rumah sakit itu. Bagi masyarakat, RSUD adalah lembaga pelayanan. Artinya, jika Pemkot tak mampu mengelola dan meningkatkan pelayanan, opsi alih kelola oleh Pemprov Jabar bisa menjadi pertimbangan. Terlebih, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi ingin membangun rumah sakit representatif agar tak menumpuk ke RS Hasan Sadikin.
Ketua Lembaga Penelitian, Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Siliwangi, Prof. Iis Marwan, adalah salah satu akademisi yang tidak mempermasalahkan siapa pun pengelolanya. Ia berpendapat, dengan kemampuan finansial yang lebih besar, beragam fasilitas kesehatan bisa Pemprov sediakan untuk mendukung pelayanan masyarakat.
“Prinsipnya saya setuju dan bersyukur bila Pemprov mau mengelola RSUD itu. Dengan kondisi APBD yang besar, masyarakat bisa mendapat layanan yang lebih baik dan tak perlu jauh ke Bandung atau kota besar lain. Tak menutup kemungkinan fasilitas kesehatan lain disediakan bila ada dukungan finansial yang lebih besar,” ujarnya saat dihubungi Rabu (6/8/2025).
Menurut Iis, jalan yang Pemprov kelola, pemeliharaan dan kualitasnya pasti lebih bagus. Namun, jika Pemkot atau DPRD ingin mempertahankan pengelolaan, ia menyarankan untuk terlebih dulu dilakukan kajian mendalam. Kajian ini mencakup aspek keuangan, manajemen SDM, dan lainnya.
“Jadi sebelum memutuskan, perlu ada kajian dari segi akademis yang terkait tata kelola RSUD. Jangan sampai untuk menutupi kekurangan atau biaya operasional dibebankan pada masyarakat atau pelayanan jadi lebih jelek,” katanya.
Hal senada diungkapkan Uyung Aria, warga Kota Tasikmalaya. Ia menyebut Pemkot tidak perlu memaksakan diri mengelola bila anggaran untuk menopang operasional tidak ada. “Prinsipnya, masyarakat butuh pelayanan yang lebih baik. Bila sekiranya tidak bisa mengupayakan perbaikan pelayanan, pertimbangan alih kelola RSUD bisa jadi opsi menarik,” kata Uyung Aria.
Sebelumnya, Anggota Komisi IV DPRD Kota Tasikmalaya, Tedi Gunandi M.Si, mengatakan, sistem kerja sama operasional (KSO) memungkinkan pembagian sumber daya, risiko, dan keuntungan. Oleh karena itu, KSO dapat menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan masing-masing pihak dalam memenuhi kebutuhan operasional.
“Saya yakin banyak perusahaan yang mau bekerja sama. Hanya perusahaan yang menjadi mitra KSO harus yang benar. Maksudnya tidak memonopoli terhadap rekanan yang lain,” ujar Anggota Komisi IV dari Partai Persatuan Pembangunan itu.
Selain itu, “penyakit” yang masih mengganggu manajemen dan SDM RSUD perlu “didiagnosa” terlebih dulu. Menurut Tedi, percuma saja Pemkot memfasilitasi penyediaan anggaran yang mencapai Rp350 miliar bila sistem manajemennya tidak kita perbaiki. “Kita berkomitmen untuk membantu memfasilitasi kebutuhan anggaran sebesar itu, cuma bila sistem manajemennya tidak kita perbaiki, ya percuma saja.” Makanya saya minta manajemen mendiagnosa persoalan yang ada di RSUD, jujur dan duduk bersama untuk mencari solusi terbaik,” ujarnya.
Soal sejumlah alat kesehatan yang kita belum bisa memanfaatkan karena ia terkendala perizinan mahal, ia menyebut, hal itu pun bisa kita kerjasamakan dengan perusahaan yang menjadi mitra KSO. “Tetapi perusahaan yang berminat melakukan KSO juga sebaiknya kita lelang, sebab kita bisa memilih harga penawaran termurah yang kita ambil,” katanya.
Menurutnya, RSUD merupakan etalase Kota Tasikmalaya dan menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) terbesar, lebih dari Rp100 miliar. “Jadi kalau provinsi Jabar alihkelola, bagaimana nasib Kota Tasikmalaya. Selain PAD hilang, klaster Kota Tasikmalaya, nilainya jadi kecil. Jadi saya dan rekan-rekan komisi yang keberatan RSUD Jabar alihkelola,” katanya.