Vietnam tengah melakukan reformasi birokrasi besar-besaran dengan memangkas jumlah pegawai negeri sipil atau PNS secara signifikan. Hingga 7 Juli 2025, sekitar 80.000 posisi telah mereka pangkas dari target 100.000 posisi yang akan dihilangkan. Langkah drastis ini bertujuan merampingkan pemerintahan, meningkatkan efisiensi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah Vietnam di Hanoi menyatakan bahwa pemangkasan ini mereka lakukan untuk menyederhanakan birokrasi dan meningkatkan perekonomian. Seperti dikutip dari DW, Sekretaris Jenderal Partai Komunis, To Lam, menegaskan bahwa reformasi ini merupakan bagian dari upaya pembangunan yang “cepat, stabil, dan berkelanjutan.” Birokrasi yang membengkak dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi dan memperlambat pengambilan keputusan.
Reformasi ini juga mencakup penggabungan sejumlah provinsi dan kota, dari 63 menjadi 34 wilayah administratif. Sebelumnya, pada bulan Februari, jumlah kementerian dan lembaga telah dipangkas dari 30 menjadi 22, yang menyebabkan hilangnya sekitar 23.000 pekerjaan. Beberapa kementerian seperti transportasi, perencanaan dan investasi, komunikasi, serta tenaga kerja menjadi target utama pengurangan. Selain itu, sektor media pemerintah, layanan sipil, kepolisian, dan militer juga tidak luput dari pemangkasan.
Menurut VOA News, pemerintah memperkirakan dapat menghemat hingga USD 4,5 miliar dalam lima tahun ke depan melalui pemotongan ini. Pemimpin tertinggi Vietnam, To Lam, menyampaikan bahwa lembaga negara bukanlah “tempat berlindung yang aman bagi pejabat yang lemah.” Ia menambahkan, “Jika kita ingin memiliki tubuh yang sehat, terkadang kita harus meminum obat pahit dan menahan rasa sakit untuk menghilangkan tumor.”
Pemangkasan ini menimbulkan reaksi beragam dari kalangan PNS yang terdampak. Nguyen Van Cuong, 56 tahun, mantan pejabat Partai Komunis dari Provinsi Bac Giang, menyatakan kepuasannya setelah menerima pesangon sebesar USD 75.000 untuk sisa enam tahun masa kerjanya. Setelah lebih dari 30 tahun mengabdi, ia menyatakan “menganggur tapi bahagia” dan menilai sudah saatnya “menghilangkan begitu banyak kerumitan dalam politik negara.”
Namun, tidak semua merasakan hal serupa. Nguyen Thi Thu (50), mantan sekretaris tingkat distrik, mengaku merasa “kosong” dan tidak yakin tentang masa depannya. Ia kesulitan menyesuaikan diri dengan sistem manajemen berbasis kinerja yang baru, serta merasa terpaksa mengundurkan diri setelah kantornya dipindahkan sejauh lebih dari 70 kilometer. “Saya mengundurkan diri, bukan karena saya ingin berhenti dari pekerjaan saya… Lebih baik mengundurkan diri daripada menunggu surat pemecatan,” ujarnya.
The Straits Times melansir bahwa Nguyen Linh (54), seorang pejabat senior yang memilih pensiun dini, turut mengungkapkan perasaannya. “Saya pikir saya layak untuk melanjutkan pekerjaan saya, dan saya masih memiliki pengalaman yang dapat saya bagikan dengan staf lain… Tapi saya telah membuat keputusan yang tepat… Meskipun saya mendukung upaya perampingan ini, semuanya berjalan begitu cepat dan tidak terduga.”
Seorang jurnalis media pemerintah yang kehilangan pekerjaannya setelah 12 tahun berkarier sebagai produser TV kini terpaksa menjadi sopir taksi. Menurut The Straits Times, Dr. Zachary Abuza, seorang pakar politik Asia Tenggara, menilai bahwa “ada biaya manusia yang nyata untuk dorongan efisiensi ini… Pikirkan tentang orang-orang media pemerintah. Tidak ada media swasta yang kuat untuk mereka masuki.”
Meski menuai pro dan kontra, pemerintah Vietnam tetap melanjutkan reformasi ini. Seperti DW mengutip, Menteri Dalam Negeri Pham Thi Thanh Tra menyebut reformasi tersebut sebagai “revolusi terbesar sejak negara ini berdiri pada tahun 1945.”Pemerintah berharap badan-badan administratif baru dapat bertransformasi dari sistem “manajemen pasif menjadi layanan aktif kepada masyarakat.”