Tanggung Jawab Orang Tua Sambung: Memelihara, Bukan Sekadar Menafkahi

Saat Anda memutuskan menikahi janda atau duda dengan anak, tentu harus siap konsekuensinya. Anak yang pasangan bawa akan menjadi anak yang juga akan diurus. Meskipun tidak ada hubungan darah, tanggung jawab itu biasanya diemban orang tua sambung. Ini tidak hanya memberikan kasih sayang, tetapi juga materi selama membesarkannya, hingga nantinya bisa menjadi mandiri.

Sedangkan anak sambung, atau biasa juga disebut anak tiri, tentunya punya kewajiban terhadap orang tua sambungnya. Menurut Hj Fajriatan Noor (49), mengurus dan menafkahi anak tiri tidak menjadi kewajiban orang tua sambung. Sebaliknya, itu adalah kewajiban mutlak orang tua kandung. Namun dengan pernyataan itu, orang tua sambung tidak serta merta melepaskan tanggung jawab moralnya.

“Artinya, manakala dia bisa mengasuh dan memberikan perlindungan serta rasa aman kepada anak tirinya, kenapa tidak,” ujar lulusan S1 Fakultas Dakwah IAIN Antasari ini, Kamis (24/7/2025).

Dengan pekerjaannya sebagai PNS Penyuluh Agama Islam di KUA Tanjung Kemenag Tabalong, Hj Fajriatan mengakui cukup sering menemui persoalan rumah tangga yang dipicu masalah anak tiri. Faktornya karena banyak orang yang salah menafsirkan dan memahami tentang status anak tiri dalam pernikahan. Walaupun secara hukum, baik itu hukum positif maupun hukum agama, kewajiban mutlak ada pada orang tua kandung.

Namun, ketika orang tua sambung tinggal serumah dengan anak tiri, otomatis mereka punya kewajiban secara sosial untuk melindungi dan mengurusi anak sambungnya. Kenyataannya, pada sebagian orang, hal itu tidak dapat terlaksana secara nyata. Mereka tidak memberikan ruang dalam hal pengurusan anak tiri yang tinggal serumah dengannya. Bahkan yang terjadi malah kekerasan, ini menimbulkan konflik dalam rumah tangga hanya karena pemeliharaan anak tiri.

Sebagai orang tua sambung, dikatakan Hj Fajriatan, apabila tinggal serumah dengan anak tiri, mereka memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk memelihara, mengurus, dan memberikan perlindungan kepada anak tiri. Tidak ada sekat yang membedakan, apakah dia anak kandung atau anak tiri. Sudah semestinya mereka memperlakukan anak tiri dengan sebaik-baik perlakuan, bahkan bisa sama seperti anak kandung.

Apalagi ketika si anak yang tinggal serumah dengan orang tua sambung masih di bawah umur atau masih bayi, otomatis kewajiban itu akan berlaku meskipun tidak semua. Artinya, orang tua sambung berhak dalam hal pengurusan, pemeliharaan, dan pengasuhan. Tapi, kewajiban memberi nafkah tetap ada pada orang tua kandung atau ayah.

“Tanggung jawab orang tua kandung atau khususnya ayah, meskipun tidak serumah, tetap memiliki kewajiban menafkahi. Dan secara kedekatan emosional menjadi hak orang tua sambung untuk memberikan perlindungan,” katanya.

Anak Tiri dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif

Hj Fajriatan menjelaskan, dalam perspektif agama Islam, anak tiri memiliki kedudukan yang berbeda dari anak kandung, terutama dalam hal nasab, warisan, dan mahram. Namun, mereka tetap memiliki hak diperlakukan dengan adil, penuh kasih sayang, dan tanggung jawab moral.

Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 42 dan 45, menyebut orang tua kandung yang bertanggung jawab memelihara dan menafkahi anak. Anak tiri tidak serta merta menjadi tanggungan hukum ayah atau ibu tirinya, kecuali ada adopsi atau pengakuan hukum tertentu.

Sedangkan dalam Islam, menafkahi dan memelihara anak tiri adalah amal yang sangat mulia dan berpahala besar jika dilakukan dengan niat ikhlas serta kasih sayang. “Jika anak tiri tinggal serumah dan tidak mendapat nafkah dari orang tua kandungnya, maka memberikan nafkah dapat menjadi bagian dari kewajiban moral dan sosial,” ucapnya.

Walaupun tidak wajib menurut hukum, secara moral dan kemanusiaan, adalah baik dan bijak jika orang tua tiri ikut berperan dalam pemeliharaan anak tiri. Terutama bila anak tersebut masih kecil dan membutuhkan perhatian.

“Islam memang memberikan aturan jelas terkait pola pengasuhan dan pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai,” katanya. Dalam hal ini, ketika si anak masih bayi atau masih kecil, otomatis akan menjadi hak ibunya terkait pengasuhannya. Sebaliknya, bila anak itu sudah besar dan sudah dewasa, agama mempersilakan si anak untuk memilih siapa, ayah atau ibunya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagai rujukan bagi keluarga Muslim, Pasal 105 KHI menyebutkan, dalam hal terjadi perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum dapat menentukan pilihan sendiri) diserahkan kepada ibunya. Lalu, anak tiri yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk diasuh ayah atau ibunya, dan biaya pemeliharaan anak menjadi tanggung jawab ayahnya.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002) Pasal 26 ayat (1) juga mengaturnya. Di sana disebutkan, orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; menumbuhkembangkan anak sesuai kemampuan, bakat, dan minatnya; serta mencegah perkawinan usia dini anak.

“Jadi jelas dengan aturan ini seorang anak tiri tetap memiliki hak mendapatkan perlindungan, pemeliharaan, dan pengasuhan dari ayah sambung,” tegas Hj Fajriatan.

Keadilan dan Harmonisasi Keluarga: Perspektif Masyarakat dan Agama

Mulyadi (53), warga Murung Pudak, berpendapat, ketika memutuskan untuk berumah tangga dengan pasangan yang sudah punya anak, tentu harus bisa berlaku adil. Terlebih apabila anak tiri itu ikut tinggal serumah, karena akan jadi bagian keluarga di rumah yang akan selalu dihadapi dalam setiap harinya dalam menjalani rumah tangga.

“Apalagi kalau anaknya masih kecil, sebagai orang tua sambung tentu sebaiknya harus ikut bertanggung jawab membantu memelihara dengan baik,” kata pekerja swasta ini. Tentu saja ini juga harus didukung dengan komunikasi yang bagus antar kedua belah pihak, termasuk kalau bisa dengan ayah atau ibu kandung dari anak tiri tersebut.

Dengan bisa berlaku adil terhadap anak tiri yang menjadi anak sambung, sedikit banyaknya juga akan berpengaruh terhadap keharmonisan dalam menjalankan rumah tangga. “Intinya harus ada komunikasi yang baik, saling terbuka, dan segera bicarakan dengan pasangan apabila ada persoalan,” ujarnya.

Orang Tua Wajib Berlaku Adil: Sudut Pandang Wakil Ketua Umum MUI Tabalong

Oleh H. Ahmad Surkati SAg MSi, Wakil Ketua Umum MUI Tabalong.

KONSEKUENSI menikah itu sesungguhnya mengambil peranan supaya bermanfaat bagi pasangan hidup. Ini juga berlaku bagi siapa pun yang dikategorikan keluarga dekatnya, baik itu mertua, anak maupun saudaranya. Maka, menikah adalah ajang berbuat baik suami istri dalam mencari ridha ilahi. Ini tidak terkecuali bagi mereka yang bertakdir jodoh dengan janda atau duda yang memiliki anak.

Anak sambung atau anak tiri dalam Islam memiliki status sebagai mahram. Siapa yang menjadi mahram seseorang, maka tidak membatalkan wudu bila bersentuhan kulit, atau bisa menjadi persyaratan dalam beberapa persoalan hukum syari’ah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahram berarti orang. Baik perempuan maupun laki-laki, yang termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan, sehingga tidak boleh menikah di antara mereka.

Ulama mazhab Syafi’i, yaitu Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam Hasyiyah al-Bajuri, jilid II, menjelaskan kedudukan hubungan seseorang karena perkawinan. “Akad nikah dengan anak perempuan langsung mengharamkan ibunya. Sementara anak perempuan (setelah akad) tidak langsung haram kecuali setelah bergaul dengan ibunya.”

Artinya, seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang memiliki anak perempuan. Maka anak tiri bagi suami ini akan menjadi mahram (tidak boleh dinikahi) bila suami istri telah berhubungan badan. Kenyataan hukum fikih ini menjelaskan kedudukan seseorang dengan beberapa akibatnya. Anak tiri adalah keluarga dekat orang tua barunya.

Bagaimana dengan nafkah? Apakah orang tuanya berkewajiban memberikan nafkah, sebagaimana anak kandungnya? Islam tidak mewajibkan, namun bila seseorang melakukannya, ia mendapat pahala dan sikap mulia yang mendatangkan berkah dalam kebahagiaan.

Mufti Mesir, Ustaz Dr. Syauqi Ibrahim ‘Allām, pernah mengulas tentang hukum nafkah suami terhadap anak-anak Istrinya. Ia menandaskan, ”Anak-anak istri tidak wajib suami ibu mereka nafkahi. Namun, jika ia memberikan nafkah kepada mereka secara sukarela, maka ia akan mendapatkan pahala.”

Pahala yang seseorang maksud tentu nilai lebih yang Allah berikan. Bahkan, dengan rahmat-Nya, seseorang yang sering berbuat baik akan Dia masukan ke surga. Tidakkah ini gambaran betapa mulianya sikap seorang ayah atau ibu terhadap anak tiri? Apalagi jika anak tiri itu adalah anak yatim, maka tentu berbagai kemuliaan akan seseorang berikan. Dan mereka memastikan rumah mereka adalah seperti ungkapan ‘baity jannaty’ rumahku adalah surgaku.

Orang tua adalah pemimpin bagi keluarga kecilnya, maka mereka mesti berlaku adil. Adil itu membuat suasana keluarga damai. “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al Maidah ayat 8).

Akan ada kendala besar dalam mencipta keluarga sakinah mawaddah warahmah bila tidak ada keadilan. Justru yang ada ketidaktenangan, berbagai masalah akan bermunculan. Ayah tiri atau ibu tiri tidak mengayomi anak-anaknya. Bersikap pilih kasih antara anak kandung dan tiri, bahkan bertindak kejam memukul, maka rumah tangga itu jauh dari rahmat. Pasangan suami istri itu gagal membina cinta yang semestinya mereka sebarkan sampai kepada orang yang mereka amanahi pemeliharaan dengan kasih sayang. Cinta yang mereka semai berbalut nafsu dan cinta dunia; mereka hidup bersama berdasarkan untung rugi.

Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah teladan yang paling sempurna dalam berbagai contoh kehidupan. Beliau ayah yang sangat baik, lembut, dan mencintai anak-anaknya, termasuk mencintai anak tiri. Sejarah Rasul hidup dengan istri-istrinya, dengan ibu dari beberapa anak tiri, begitu indah dan ia torehkan dengan tinta emas.

Salah satunya pengakuan anak tiri Rasul bernama Hindun bin Abu Halah, anak Khadijah dengan suami sebelumnya. Hindun menilai, Rasulullah adalah ayah terbaik yang sangat mencintai dan memberikan pengaruh besar terhadap hidupnya.

“Ayahku Muhammad, ibuku Khadijah, saudaraku Qasim, dan saudariku Fatimah. Siapa yang mempunyai nasab seperti ini,” kata Hindun bangga karena memiliki ayah Rasulullah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like
Link Pendaftaran Undangan Upacara HUT RI ke-80 Dibuka: Syarat & Cara Daftar di Istana Negara

Link Pendaftaran Undangan Upacara HUT RI ke-80 Dibuka: Syarat & Cara Daftar di Istana Negara

Momen Rekonsiliasi: Militer Korea Selatan Mulai Bongkar Pengeras Suara Propaganda di Perbatasan Korea Utara

Momen Rekonsiliasi: Militer Korea Selatan Mulai Bongkar Pengeras Suara Propaganda di Perbatasan Korea Utara

Bebas Berkat Abolisi, Tom Lembong Laporkan Hakim dan BPKP Demi Keadilan

Bebas Berkat Abolisi, Tom Lembong Laporkan Hakim dan BPKP Demi Keadilan

Alasan Wali Kota Ayep Zaki Tak Temui Demonstran: Ajak Dialog Resmi, Bukan Aksi Unjuk Rasa

Alasan Wali Kota Ayep Zaki Tak Temui Demonstran: Ajak Dialog Resmi, Bukan Aksi Unjuk Rasa

Pemkab Cirebon Paparkan Hasil Penilaian Kompetensi ke BKN, Siap Implementasikan Manajemen Talenta

Pemkab Cirebon Paparkan Hasil Penilaian Kompetensi ke BKN, Siap Implementasikan Manajemen Talenta

BKN Buka Suara Soal Seleksi CPNS 2025: Diumumkan Ditunda, Ini Alasannya

BKN Buka Suara Soal Seleksi CPNS 2025: Diumumkan Ditunda, Ini Alasannya