Peningkatan proporsi alokasi pendapatan konsumen yang digunakan untuk konsumsi rumah tangga yang tercatat dalam Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) pada Juli 2025 dinilai menyimpan risiko tersembunyi. Kepala Makroekonomi dan Keuangan Indef, Muhammad Rizal Taufikurahman, menyebut tren ini perlu diwaspadai sebagai indikasi fenomena dissaving. Ini terjadi saat rumah tangga membiayai konsumsi dengan mengurangi tabungan karena tekanan pendapatan riil, yang biasa dikenal dengan fenomena “makan tabungan”.
Menurut Rizal, ini biasanya terjadi saat pendapatan riil stagnan atau tergerus inflasi. Sementara itu, harga kebutuhan pokok dan layanan terus naik. “Masyarakat mengompensasi keterbatasan pendapatan dengan memanfaatkan dana tabungan agar standar hidup tidak turun, sehingga konsumsi tetap berjalan,” ungkap Rizal pada Jumat (8/8/2025).
Berdasarkan Hasil Survei Konsumen BI, proposi pendapatan yang konsumen gunakan untuk konsumsi naik menjadi 75,4% pada Juli, dari sebelumnya 75,1%. Sementara itu, porsi untuk tabungan menurun dari 14,1% menjadi 13,7%. Di sisi lain, komponen Indeks Penghasilan Saat Ini (IPSI) tercatat menurun dari 120,2 pada Juni, menjadi 117,8 pada Juli 2025.
Rizal memperingatkan bahwa kondisi ini dapat melemahkan stabilitas keuangan rumah tangga dan perekonomian secara agregat. Hilang atau berkurangnya porsi cadangan dana darurat (tabungan) membuat masyarakat akan lebih rentan terhadap guncangan ekonomi. Contohnya lonjakan harga pangan, kenaikan biaya kesehatan, atau kehilangan pekerjaan.
“Dari sudut makro, ini adalah pertumbuhan konsumsi yang rapuh. Ini bertumpu pada likuiditas jangka pendek, bukan pada kenaikan produktivitas atau penambahan sumber pendapatan baru,” ungkapnya.
Dalam skala nasional, menyusutnya tabungan mengurangi basis pembiayaan domestik. Ini meningkatkan ketergantungan pada modal eksternal dan mempersempit ruang kebijakan moneter. Masyarakat menjadi lebih sensitif terhadap kenaikan suku bunga dan inflasi. Rumah tangga yang tidak memiliki bantalan dana darurat atau tabungan akan cenderung mengandalkan utang konsumtif atau kredit berbunga tinggi. Ini justru memperburuk rasio beban cicilan terhadap pendapatan karena sumber likuiditas atau tabungan tergerus.
“Jika kita biarkan, akan tercipta ilusi pertumbuhan konsumsi yang pada akhirnya memicu kerentanan struktural ketika sumber likuiditas habis,” ungkap Rizal.
Ia menegaskan, kita perlu melakukan mitigasi pada dua sisi. Pertama, kita membutuhkan kebijakan untuk memperkuat pendapatan riil, seperti upah yang menyesuaikan dengan kondisi perkembangan inflasi dan peningkatan produktivitas. Kedua, kita membutuhkan insentif tabungan jangka panjang serta memastikan stabilitas harga kebutuhan pokok. Ini akan membuat rumah tangga tidak perlu mengorbankan dana darurat untuk kebutuhan sehari-hari.
“Tanpa itu, konsumsi akan menjadi pertumbuhan semu yang risiko sosial-ekonomi bayar mahal di masa depan,” ia ungkapkan.