Budaya “crunch” merujuk pada praktik kerja intensif di mana karyawan diharuskan bekerja melampaui jam kerja normal untuk memenuhi tenggat waktu yang ketat. Fenomena ini sering terjadi di industri teknologi, perangkat lunak, dan kreatif, termasuk pengembangan game. Namun, di balik pencapaian proyek besar, budaya ini menimbulkan berbagai persoalan yang berdampak pada individu dan perusahaan.
Budaya crunch lahir dari tekanan bisnis untuk tetap kompetitif. Beberapa faktor yang memicunya antara lain:
Meski mungkin membantu mencapai target jangka pendek, dampak jangka panjang dari budaya crunch tidak bisa diabaikan:
Praktik crunch culture tidak hanya terjadi di luar negeri, tetapi juga di Indonesia. Salah satu contohnya adalah kasus Brandoville Studios, sebuah perusahaan pengembangan game yang mendapat sorotan negatif karena laporan mengenai jam kerja berlebihan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap karyawan. Kasus seperti ini menggambarkan bagaimana budaya crunch dapat memengaruhi lingkungan kerja dan reputasi perusahaan.
Tokoh seperti Jack Ma, pendiri Alibaba, memiliki pandangan kontroversial tentang kerja lembur. Ia pernah menyebut jadwal kerja “996” (9 pagi hingga 9 malam, enam hari seminggu) sebagai “berkah besar.” Pernyataan ini menuai kritik karena dianggap mengabaikan kesejahteraan karyawan.
Di sisi lain, semakin banyak perusahaan dan tokoh yang mulai menyadari pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dalam menjaga keberlanjutan kerja dan produktivitas.
Sebagai jurnalis, saya percaya bahwa dedikasi dan kerja keras penting, tetapi tidak boleh mengorbankan kesejahteraan karyawan. Berikut adalah langkah yang dapat diambil untuk mengatasi budaya crunch:
Budaya crunch adalah fenomena kompleks yang mencerminkan ketegangan antara target bisnis dan kesejahteraan individu. Meskipun bekerja keras penting, pendekatan yang lebih berkelanjutan diperlukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Perusahaan yang menghargai keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi tidak hanya akan mendapatkan karyawan yang lebih produktif, tetapi juga membangun reputasi yang kuat di mata publik.
Melalui perubahan ini, kita dapat mendorong praktik kerja yang lebih manusiawi, tanpa mengorbankan hasil yang ingin dicapai.