Para ilmuwan mengingatkan bahwa pencairan gletser dapat menyebabkan letusan gunung berapi menjadi lebih dahsyat dan sering terjadi, sehingga memperparah perubahan iklim. Ratusan gunung berapi terletak di bawah gletser di Antartika, Rusia, Selandia Baru, dan Amerika Utara. Namun, seiring dengan pemanasan planet ini dan mencairnya lapisan es tersebut, gunung berapi ini kemungkinan akan menjadi lebih aktif. Ini menurut penulis sebuah studi terbaru yang menganalisis aktivitas enam gunung berapi di Chili selatan pada masa es terakhir.
“Gletser cenderung mengurangi volume letusan gunung berapi yang berada di bawahnya. Namun, dengan mencairnya gletser akibat perubahan iklim, penelitian kami menunjukkan bahwa gunung berapi ini akan meletus lebih sering dan lebih dahsyat,” kata penulis utama studi Pablo Moreno Yaeger, mahasiswa pascasarjana di University of Wisconsin-Madison, seperti dilaporkan Livescience.
Proses ini telah dikenal mengubah Islandia secara mendasar. Pulau ini terletak di atas lempeng tektonik Amerika Utara dan Eurasia yang sedang bergerak menjauh. Pada tahun 2002, para ilmuwan menemukan perubahan aktivitas vulkanik Islandia. Seiring meleburnya gletser pada akhir Zaman Es, sekitar 10.000 tahun lalu. Gunung berapi di pulau tersebut merespons dengan gelombang letusan yang lebih ganas, hingga 30 hingga 50 kali lebih hebat dibandingkan sebelumnya atau setelahnya.
Namun, risiko yang mungkin tersembunyi dalam sistem vulkanik daratan masih belum sepenuhnya dipahami. Untuk mengeksplorasi hal ini, para ilmuwan geosains mengamati enam gunung berapi di Chili bagian selatan, termasuk gunung berapi Mocho-Choshuenco yang saat ini tidak aktif. Mereka mempelajari bagaimana gunung berapi tersebut bereaksi terhadap pencairan Lapisan Es Patagonia ribuan tahun yang lalu.
Menggunakan argon radioaktif yang letusan gunung berapi di wilayah tersebut lepaskan sebagai jam isotop. Serta dengan meneliti kristal yang mulai terbentuk dalam batuan magmatik yang keluar saat gunung berapi meletus, para ilmuwan mampu melacak kegiatan vulkanik di area tersebut. Mereka juga mengaitkannya dengan hilangnya es di sana.
Mereka menemukan bahwa antara 26.000 hingga 18.000 tahun yang lalu, pada masa puncak Zaman Es terakhir, lapisan es mengurangi intensitas letusan. Ini menyebabkan terbentuknya cadangan magma besar di bawah permukaan wilayah tersebut. Ketika lapisan es mencair, tekanan dalam cadangan ini meningkat dan akhirnya meledak, membentuk gunung berapi Mocho-Choshuenco.
Ancaman ini mencakup skala planet. Sebanyak 245 gunung berapi yang berpotensi aktif di dunia terletak di bawah atau dalam jarak 3 mil (5 kilometer) es, menurut sebuah penelitian tahun 2020. Ia menegaskan bahwa daerah lain yang menjadi fokus antara lain Amerika Utara, Selandia Baru, dan Rusia. Ia menyatakan bahwa wilayah-wilayah tersebut “membutuhkan pengawasan ilmiah yang lebih intensif.”
Dalam waktu singkat, letusan biasanya mengeluarkan aerosol sulfat. Ini mampu memantulkan cahaya matahari kembali ke luar angkasa. Hal ini telah menyebabkan fenomena penurunan suhu setelah letusan sebelumnya, beberapa di antaranya bahkan memicu bencana kelaparan besar. Namun, dalam jangka panjang, gas rumah kaca yang gunung berapi ini hasilkan kemungkinan akan mempercepat perubahan iklim, menurut para ilmuwan.
“Seiring waktu, letusan berulang bisa memicu pemanasan global jangka panjang akibat akumulasi gas rumah kaca,” ujar Moreno Yaeger. “Ini menciptakan siklus umpan balik, di mana pencairan gletser memicu letusan yang kemudian mempercepat pemanasan dan pencairan lebih lanjut.”